Membicarakan tentang Kawasan Muarajambi memang tak lepas dari sejarah Sriwijaya dan peninggalan-peninggalan bersejarah yang masih ada. Bukti-bukti yang nyata terutama mencakup bukti arkeologis berupa situs-situs, berbagai artefak dan patung serta bukti-bukti epigrafis berupa prasasti-prasasti.
Bukti Arkeologis
Bukti arkeologis yang utama tentu saja adalah kompleks Kawasan Percandian Muarajambi dengan sebaran candi-candi, “menapo-menapo” (gundukan tanah yang belum digali) dan peninggalan-peninggalan lainnya, seperti rupang, berbagai artefak dan sebagainya. Situs-situs yang relevan mencakup situs-situs sekitar Jambi dan Sungai Batanghari, situs-situs sekitar Palembang dan Sungai Musi, Bukit Siguntang dan peninggalan-peninggalan yang ditemukan di berbagai area.
Bukti Epigrafis
Bukti-bukti berupa prasasti yang berkaitan dengan Kawasan Muarajambi, antara lain:
- Prasasti Kedukan Bukit (683 Masehi)
- Prasasti Talang Tuwo (684 Masehi)
- Beberapa prasasti “kutukan,” seperti prasasti Kota Kapur (686 Masehi), prasasti Sabokingking, prasasti Karang Brahi dan prasasti Palas Pasemah.
Plat Tembaga Nalanda (860 Masehi)
Plat Tembaga Nalanda dikeluarkan oleh raja Benggala bernama Dewapaladewa. Prasasti ini ditulis dalam tulisan Devanagari dan Proto-Bengali. Isi prasasati Nalanda adalah mengenai permintaan raja dari Suwarnadwipa bernama Balaputradewa untuk mendirikan biara di Nalanda, dan Raja Dewapaladewa memberikan lima desa yang hasilnya digunakan untuk memelihara biara dan membiayai siswa-siswa di sana.
Dari plat tembaga tersebut jelas bahwa hubungan agama dan politik, hubungan dalam bidang perdagangan dan pendidikan antara raja-raja di India dan Sriwijaya pada waktu itu sangat erat, yang berefek saling mempengaruhi. Ini jelas terlihat saat kita membandingkan Universitas Nalanda dengan Kawasan Muarajambi.
The Larger and Smaller Leiden Grants (1015 Masehi)
The Larger and Smaller Leiden Grants menyebut bahwa raja dari Suwarnadwipa, Sri Maravijayatunggavarman membangun vihara di Nagapattana, India Selatan atas nama ayahnya, Cudamanivarman dan raja Cola yang bernama Rajaraja, sekitar tahun 1005 Masehi memberikan satu desa yang hasilnya digunakan untuk memelihara vihara tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa selama beberapa generasi, kedekatan hubungan antara Indonesia (Sriwijaya) dan India pada waktu itu tetap terpelihara.