Tidak banyak yang membandingkan Kawasan Percandian Muarajambi dengan Nalanda, padahal terdapat banyak kemiripan dari berbagai segi. Mari kita lihat beberapa benang merah di antaranya.
Seperti halnya Nalanda yang merupakan pusat pembelajaran penting di India pada waktu itu, kemungkinan di Indonesia pada waktu itu juga ada universitas yang setaraf dengan pusat-pusat pembelajaran terbaik di dunia. Peran dan pengaruh perkembangan institusi di India, terutama Sanghrama Nalanda bisa jadi sangat penting terhadap perkembangan Kawasan Muarajambi sebagai kompleks pusat pembelajaran atau universitas.
Bukti Arkeologis
Biara-biara di Nalanda dibangun satu per satu, berderet atau berdampingan, dalam waktu yang berbeda dan dibutuhkan sekitar 110 tahun untuk menyelesaikan semuanya. Bangunan-bangunan di Kawasan Muarajambi juga berderet atau berdampingan. Sama seperti di Nalanda, bangunan-bangunan di Kawasan Muarajambi juga kemungkinan tidak dibangun secara serentak namun dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Bangunan-bangunan di Kawasan Muarajambi terletak dalam suatu kompleks atau kawasan, saling berdekatan dan boleh dikatakan berderet. Seperti di Nalanda, hampir semua bangunan di Kawasan Muarajambi dikelilingi pagar tembok setinggi 6 meter dengan luas yang berbeda-beda dan berpetak-petak. Seperti ditulis I-Tsing ketika beliau tinggal di Fo-Shih: “Di kawasan berpagar tembok di Fo-Shih, tinggal ribuan bhikshu yang tekun belajar dan beribadah.” Terdapat paling sedikit 6 kanal buatan, yang menghubungkan bangunan yang satu dengan bangunan lainnya dan sampai beberapa tahun lalu, kanal-kanal tersebut masih digunakan oleh penduduk setempat dengan menggunakan perahu tradisional.
Layout (rancangan) bangunan yang berderet atau berdampingan ini masuk akal karena rutinitas kehidupan sehari-hari terbagi antara belajar dan ritual kebaktian, sehingga vihara dibangun di dekat ‘caitya’ (tempat beribadah dan biasanya tempat untuk menyimpan relik). Candi Astano, misalnya, mungkin merupakan sebuah caitya karena ‘astano’ artinya ‘makam.’ Di Kawasan Muarajambi, meskipun bangunannya berderet, tetapi jarak antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya tidak sedekat di Nalanda, ini mungkin disebabkan adanya kanal-kanal yang menghubungkan bangunan yang satu dengan bangunan lainnya.
Mahavihara Nalanda dibangun dengan desain tradisional. Petak halaman berbentuk persegi yang luas dikelilingi di semua sisi dengan beranda yang memanjang. Hal ini masih terlihat di antara reruntuhan beberapa halaman dan berandanya, dengan barisan ‘umpak’ atau penyanggah pilar-pilar kayu (yang hanya tinggal beberapa bagian saja sekarang) dengan tempat tinggal para bhikshu di belakang. Pola yang serupa ini juga dapat dihubungkan dengan reruntuhan Kawasan Muarajambi.
Di beberapa halaman tampak altar dengan sebuah podium di depan di tempat yang lebih rendah. Di halaman-halaman inilah, kelihatannya, pengajaran dan ceramah biasanya diberikan. Guru berdiri atau duduk di atas panggung dengan podium di depannya untuk membabarkan naskah-naskah, sementara para siswa duduk mengelilingi guru.
Kemungkinan hampir semua kelas dan aktivitas-aktivitas dilakukan dalam lingkungan berpagar tembok, di petak-petak halaman terbuka yang dilandasi dengan paving batu bata. Reruntuhan pondasi pagar, halaman-halaman dan paving-nya masih jelas terlihat di situs Kawasan Muarajambi.
Pondasi pagar, halaman dan paving di Kawasan Muarajambi
Kemiripan Mata Pelajaran Menurut Catatan Penjelajah
I-Tsing mengatakan bahwa “mata kuliah yang diajarkan di Fo-Shih tidak berbeda dengan di India.” Ini mengindikasikan bahwa mata kuliah seperti logika, tatabahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian serta metafisika dan filsafat yang diajarkan di Fo-Shih pada waktu itu adalah setaraf atau bahkan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan universitas-universitas modern yang muncul belakangan di dunia Barat.
Seperti dijabarkan sebelumnya bahwa Universitas Nalanda dijalankan berdasarkan cara pandang Mahayana, meskipun ajaran-ajaran cara-cara pandang lainnya juga dipelajari di Nalanda. Bahasa Sanskerta menjadi media belajar. Isi Prasasti Talang Tuwo (684) juga menunjukkan bahwa pada abad ke-7 Masehi, Sriwijaya mengikuti cara pandang Mahayana dan I-Tsing juga menulis bahwa beliau belajar tata bahasa Sanskerta di Fo-Shih.
Hubungan Sriwijaya dan India Dalam Hal Pendidikan, Perdagangan, Agama, dan Politik
Telah dijabarkan sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan India pada waktu itu. Hal ini paling tidak tercatat dalam dua prasasti:
- Prasasati Nalanda (860) berisi permintaan raja dari Suvarnadvipa bernama Balaputradeva kepada Raja Devapaladeva untuk mendirikan biara di Nalanda, dan Raja Devapaladeva memberikan lima desa yang hasilnya digunakan untuk memelihara biara dan membiayai siswa-siswa di sana.
- The Larger and Smaller Leiden Grants (1015) menyebut bahwa raja dari Suvarnadvipa, Sri Maravijayatunggavarman membangun vihara di Nagapattana, India Selatan atas nama ayahnya, Cudamanivarman dan raja Cola yaitu Rajaraja memberikan satu desa yang hasilnya digunakan untuk memelihara vihara tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan tulisan-tulisan dari penjelajah terutama I-Tsing serta beberapa temuan peninggalan arkeologi, prasasti-prasasti, dan tulisan-tulisan para penjelajah lainnya, kemungkinan besar di Sriwijaya, khususnya Kawasan Percandian Muarajambi merupakan pusat pendidikan yang besar, suatu universitas yang setara dan sezaman dengan Universitas Nalanda di India.
Hendaknya kita tidak hanya berpatok pada bukti secara fisik yang memang sulit ditemukan setelah sekian abad, namun bersikap terbuka untuk menyidik kemungkinan yang ada, karena dengan sikap inilah, memungkinkan terungkapnya hal-hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya.